Selama ini sebagian besar orang memahami lilin sebagai simbol filosofi
hidup yang sia-sia. Hanya bisa menerangi sementara dirinya sendiri
hancur. Lalu muncul statement jangan hidup seperti lilin. Aku mungkin
salah satu dari sebagian kecil orang yang mencoba memahami filosofi
lilin dengan perspektif yang berbeda. Lilin, ketika dirinya sendiri
meleleh habis terbakar.
Setelah
memancarkan cahaya menerangi kegelapan, sesungguhnya apa yang terjadi
bukanlah suatu kehancuran. Melelehnya lilin itu pada hakikatnya adalah
simbolisasi penyatuan jatidiri dengan pancaran cahaya yang keluar dari
api yang membakar dirinya sendiri, itulah yang disebut sebagai puncak
dari suatu hikmat pengorbanan yang tulus tanpa pamrih. Hanya mereka yang
mau berkorban dengan tulus tanpa pamrih seperti lilin yang akan
berhasil mencapai puncak kesadaran kosmik (pencerahan), suatu konsepsi
kesadaran yang dibutuhkan sebagai tiket menuju puncak kebahagiaan yang
dicita-citakan oleh semua ummat manusia dan bangsa-bangsa di dunia.
Manusia dalam kondisi kesadaran seperti inilah yang tercerahkan dan
mampu mencerahkan kehidupan. Menjadi pemimpin yang adil, pejabat yang
taat hukum dan tidak korupsi, ayah yang bijak, ibu yang penuh cinta dan
kasih, anak yang sholeh dan hormat pada orang tua, murid yang santun,
dan seterusnya. Belajarlah hidup seperti lilin, menerangi kegelapan dan
berkorban dengan tulus tanpa pamrih.
Sumber: google.com
Pondok Kehidupan, 07 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar